Pages

Ayo Jatuh Cinta Lagi





Pernikahan, ibarah permainan atau kadang kala malah lebih mirip hutan. Yang ada di tangan dan kepala kita hanya sebuah buku petunjukkan yang tak selalu sama digunakan setiap orang dan sebuah peta usang perjalanan pernikahan.

Kadang dalam permainan dan perjalanan itu kita merasakan kebosanan dan kecapaian. Tapi kita tak bisa dan tak boleh menghentikan permainan, apalagi keluar dari arena. Kecuali jika keadaan sudah tidak bisa diperbaiki, permainan boleh dihentikan. Bicara tentang sebuah kelanggengan, ada banyak versi dan cara melanggengkan cinta. Yap, seperti kata pepatah seribu jalan bisa ditempuh menuju kota Roma.

Ada juga anlogi lain tentang cinta dan pernikahan. Pernikahan, katanya, ibarat segelas cangkir dengan air yang penuh menjadi isinya. Untuk menjaga agar air isinya tidak melimpah dan tumpah ada dua hal yang harus dilakukan masing-masing pasangan. Pertama, akuilah jika salah satu di antara kita berbuat salah pada suami atau istri. Cara kedua, berdiam diri saat kita merasa benar. Berdiam diri di sini bukan berarti membiarkan kebenaran berlalu dengan senyap. Tapi berdiam diri di sini lebih berarti menonjolkan sifat yang tak ingin menang sendiri.

Jika di atas adalah cara menjaga cinta dan pernikahan dengan dua langkah, berikut ini ada yang cara dengan enam langkah. Persis, seperti langkah dalam catur, Anda bisa mematikan lawan dalam dua langkah atau bisa dengan enam langkah. Enam cara itu adalah, pertama kesetiaan dan lima yang lainnya adalah keyakinan. Itu caranya, jika Anda ingin menjaga pernikahan Anda menuju pernikahan yang penuh barakah pertama Anda harus setia, kedua sampai seterusnya Anda harus yakin pada kesetiaan itu.

Ketika menulis artikel ini, ada pertanyaan yang menggelitik untuk ditanyakan pada pembaca. Sudah berapa lama Anda menikah? Itulah pertanyaannya. Apakah Anda sudah benar-benar mengetahui siapakah sebenarnya sang pasangan. Bagaimana cara hidupnya, bagaimana sikap dan pemikirannya, bagaimana pola yang ia tempuh untuk menjaga roda pedati pernikahan tetap berjalan dijalurya. Jawaban-jawaban pertanyaan di atas, hanya akan Anda temui bersama dengan berlalunya sang waktu. Seperti pepatah Inggris, time will tell, waktu akan menjawabnya.

Pendeknya, tidak ada suami atau istri yang tahu betul siapa yang ada dalam pelukan mereka setiap malamnya sampai mereka sama-sama mengarungi badai terganas dalam kehidupan rumah tangga. Dan mereka keluar sebagai pemenangnya. Tak jarang banyak di antara tali pernikahan terpaksa putus di tengah jalan, karena tali itu tak kukuh dan menjadi lekang oleh panas dan hujan. Pada awalnya, saat pertama kita menikah, kita merasa telah menemukan orang yang tepat, pas, sempurna, untuk menjadi pasangan kita.

Tapi setelah waktu bergulir dan umur pernikahan bertambah kita menemukan banyak fakta, bahwa pasangan yang ada di samping kita tak sepenuhnya sempurna. Memang demikianlah, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak punya kekurangan dan kesalahan. Kelanggengan dan kebahagiaan pernikahan memang bukan karena Anda menemukan pasangan yang tepat dalam hidup. Kelanggengan dan kebahagiaan rumah tangga bisa terwujud karena masing-masing dari kita mencoba untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangannya. Itulah kuncinya.

Dengan seperti itu, insya Allah Anda akan menemukan sebuah suasana rumah tangga yang bukan saja menyenangkan, lebih dari itu. Anda akan menemukan sebuah formula bagaimana menjaga kesenangan itu tetap ada. Anda akan menemukan getaran yang sama saat Anda menatap mata istri atau suami untuk pertama kali meski pernikahan yang Ada lalui sudah puluhan tahun umurnya.

Memang banya orang yang bilang, pandangan pada cinta pertama adalah sesuatu yang ajaib dan menakjubkan. Tapi sebenarnya, pandangan pertama bukanlah cinta yang luar biasanya. Yang luar biasa adalah, jika dua orang yang telah bertahun-tahun menikah masih sering menatap mata masing-masing dengan penuh gairah dan rasa seperti pada pandangan pertama. Itulah yang luar biasa, itulah keajaiban.

Maka sebagai penutup, ada langkah pamungkas untuk menjaga dan menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga Anda. Langkah pamungkas itu bukan enam langkah, atau dua langkah lagi, tapi hanya satu langkah. Ya, satu langkah.

Pernikahan yang berhasil memiliki satu syarat, dan syarat itu adalah, Anda harus jatuh cinta lagi, berulang kali, pada orang yang sama. Istri atau suami Anda. Karena persyaratan utama sebuah kebahagiaan rumah tangga adalah jatuh cinta lagi, mari sekarang kita sama-samajatuh cinta lagi. Ayo,jatuh cinta lagi.(her)




Jimat Menurut Islam


Jimat Menurut Islam
Bagi masyarakat Indonesia jimat bukan sesuatu yang asing. Dari rakyat kecil sampai orang kaya pun menggunakannya. Mereka gantungkan urusan mereka kepada jimat. Sebagai agama yang telah sempurna, Islam telah menerangkan kepada kita bagaimana menyikapinya.
Pengertian Jimat
Jimat adalah segala sesuatu yang diyakini menjadi sebab datangnya manfaat atau hilangnya kesulitan, namun bukan merupakan sebab yang dibolehkan oleh syari’at (baik secara syar’i atau qodari) (At-Tamhid lisyarhi Kitabi at-Tauhid karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu asy-Syaikh). Secara syar’i berarti ditunjukan oleh dalil yang benar (Al-Qur’an atau Hadits shahih) sedangkan secara qodari berarti terbukti secara ilmiah. Jadi, benda yang dijadikan jimat tidak harus yang bernuansa mistis dan ngeri, namun sebuah gelas dapat menjadi jimat jika diyakini menjadi sebab dapat menyembuhkan penyakit. Contoh jimat yang tersebar meluas di Indonesia antara lain: jimat penglaris, rajah, susuk, dan lain-lain.
Dalil Umum Pelarangan Jimat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik” (HR. Abu Dawud, shahih). Dalam hadits ini secara tegas Rasul  menyebut jimat dengan kemusyrikan. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat  kemusyrikan” (HR. Ahmad, shahih).
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar : 38). Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa berhala yang disembah oleh kaum musyrikin diyakini oleh mereka sebagai sebab untuk mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesulitan. Akan tetapi berhala-berhala tersebut bukanlah sebab yang boleh dimanfaatkan menurut syari’at, dan juga mereka tidak mampu untuk memenuhi sedikit pun perkara yang diminta. Begitu pula orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebab yang tidak dibolehkan oleh syari’at.
Macam dan Hukum Jimat
Jimat dibagi menjadi dua macam, yaitu jimat yang berasal dari Al-Qur’an atau do’a-do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jimat yang bukan berasal dari keduanya. Adapun hukum jimat yang bukan berasal dari Al-Qur’an atau do’a Nabi, maka termasuk ke dalam kemusyrikan. Tergolong ke dalam syrik kecil jika seseorang meyakini jimat tersebut hanya sebagai sebab/sarana, namun tetap meyakini hanya Allah yang maha kuasa untuk menghilangkan bahaya dan mendatangkan manfaat. Dapat termasuk ke dalam syirik besar (yang mengeluarkan dari Islam) jika meyakini jimat tersebutlah dengan sendirinya yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesusahan tanpa meyakini adanya kekuasaan Allah dalam memberikan pengaruh dari sebab yang diambil (Majmu’ Fatawa Wa Rasail karya Syaikh Utsaimin).
Sedangkan jimat yang berasal dari Al-Qur’an, maka terdapat perselisihan diantara para ulama apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak. Alasan diperbolehkannya karena Al-Qur’an bukan termasuk makhluk melainkan Kalamullah. Namun yang lebih tepat adalah pendapat yang melarang penggunaan Al-Qur’an sebagai jimat. Hal tersebut didasarkan atas beberapa alasan: (1) Keumuman dalil pelarangan jimat dan tidak ada dalil lain yang mengkhususkan bolehnya hal tersebut; (2) Dapat menyebabkan penghinaan terhadap Al-Qur’an karena dibawa ke tempat najis dan kotor; (3) Demi menutup jalan-jalan kemusyrikan, yaitu perbuatan menggantungkan selain Al-Qur‘an sebagai jimat; (4) Tidak adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang membolehkan hal tersebut (Haasyiatu Kitabi at-Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Qaasim). Jadi kesimpulannya seluruh bentuk jimat adalah terlarang dalam syari’at Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an atau selain Al-Qur’an.
Jimat bukan sarana yang diizinkan syari’at
Pembahasan mengenai jimat sangat erat kaitannya dengan pembahasan kaidah pengambilan sebab. Karena orang-orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebagai sebab agar tercapai keinginannya. Padahal tidak sembarang sebab boleh ditempuh menurut syari’at. Kesalahan dalam pengambilan sebab dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kemusyrikan. Terdapat tiga kaidah yang harus dipahami dalam mengambil sebab (At-Tauhid Al-Muyassar karya ‘Abdullah Al-Huwaili) :
1. Sebab yang diambil harus terbukti secara syar’i atau qodari
Suatu sebab terbukti secara syar’i berarti terdapat dalil yang shahih, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, yang menunjukkan bolehnya pengambilan sebab tersebut. Walaupun secara akal, hal tersebut belum terjangkau. Contohnya adalah cara menangkal racun pada bejana yang terjatuhi lalat yaitu dengan mencelupkan seluruh badannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila lalat jatuh di bejana salah satu diantara kalian maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya” (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa mencelupkan tubuh lalat yang masuk ke dalam bejana berisi cairan merupakan sebab yang diizinkan secara syar’i karena berdasarkan hadits yang shahih.
Sedangkan suatu sebab dapat terbukti secara Qodari berarti sebab tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah dan akal dapat menjangkaunya. Atau dengan kata lain, sebab dan akibat yang ditimbulkan memiliki hubungan rasional. Seperti orang yang lapar, akan mengambil sebab makan sehingga ia dapat kenyang, atau orang yang ingin pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, maka ia berjalan kaki dari tempat tinggalnya.
2. Tidak boleh bersandar kepada sebab
Setelah sebab yang diambil terbukti secara syar’i atau Qodari, maka selanjutnya kita tidak boleh bersandar kepada sebab yang telah diambil. Karena hal ini menunjukkan sifat kurangnya tawakal kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Kuasa yang dapat menciptakan segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah : 51).
3. Meyakini bahwa sebab hanya dapat berpengaruh dengan izin dari Allah dan tidak dengan sendirinya
Seorang Muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, hanya dapat terjadi atas izin dari Allah Ta’ala. Begitu pula berpengaruhnya sebab, hanya dapat terjadi dengan izin dari Allah Ta’ala. Misalnya seorang pasien yang berobat ke dokter, kemudian dokter memberikan obat tertentu. Setelah obat tersebut diminum, penyakit yang dialami si pasien menjadi sembuh. Maka sesungguhnya yang memberikan kesembuhan adalah Allah Ta’ala, bukan dokter atau obat. Dokter dan obat hanya sebagai sebab kesembuhan pasien tersebut. Maka seorang muslim harus memiliki keyakinan seperti ini, terhadap seluruh sebab yang dia ambil.
Seseorang yang menggunakan jimat, berarti ia telah melanggar kaidah yang pertama, karena jimat merupakan sebab yang tidak diizinkan baik secara syar’i maupun qodari. Bahkan sebagian dari mereka (pengguna jimat) melanggar kaidah kedua dan ketiga. Mereka setelah menggunakan jimat, kemudian bersandar kepada jimat tersebut. Seolah-olah dengan tidak adanya jimat maka musibah akan melanda mereka. Yang lebih disayangkan lagi sebagian orang yang meyakini bahwa jimat tersebut dengan sendirinya dapat menolak bahaya. Keyakinan seperti itu adalah keyakinan yang harus dihindari, karena bertentangan dengan tauhid kepada Allah Ta’ala serta dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.
Pembagian bentuk penyandaran kepada selain Allah Ta’ala
Manusia dalam menyandarkan dirinya kepada sebab, dibagi menjadi tiga macam (Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid, karya Syaikh Utsaimin).
Pertama, yang meniadakan tauhid dari pokoknya. Yaitu jika seseorang bergantung kepada sebab yang tidak mungkin dapat memberikan pengaruh sedikit pun, serta ia menyandarkan dirinya dengan penyandaran yang sempurna. Contohnya adalah orang yang meminta kepada kuburan wali untuk dihilangkan kesusahannya, kemudian ia menyandarkan diri kepada kuburan tersebut dan meyakini kuburan tersebut yang akan menghilangkan kesulitannya. Orang ini telah terjatuh pada perbuatan syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam. Karena kuburan tidak memiliki pengaruh sedikitpun (tidak berkuasa) untuk menghilangkan kesulitan.
Begitu pula, jika sebab yang diambil termasuk ke dalam perbuatan syirik akbar, maka ia akan terjatuh dalam syirik akbar karena sebab yang diambil. Walaupun ia berkeyakinan Allah lah yang memberikan pengaruh dari sebab yang diambil. Sebagaimana kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar :3). Ayat ini menunjukkan bahwa keyakinan orang-orang musyrikin dalam menyembah berhala adalah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, tidak meyakini berhala tersebut yang dapat menghilangkan kesusahan mereka. Namun keyakinan mereka berupa mengesakan Allah dalam Rububiyyah (perbuatan-perbuatan Allah), tidak cukup untuk memasukkan mereka ke dalam Islam, tapi mereka harus mengesakan Allah pula dalam hal ibadah. Mereka termasuk orang musyrik karena mengambil sebab dengan perbuatan kemusyrikan.
Kedua, yang meniadakan kesempurnaan tauhid. Yaitu jika seseorang bergantung kepada sebab yang diizinkan syari’at dengan tidak mengingkari bahwa Allah yang memberikan pengaruh terhadap sebab tersebut. Contohnya adalah orang yang sakit kemudian berobat kepada dokter. Namun ia menyandarkan kesembuhan dirinya kepada dokter bukan kepada Allah, walaupun ia tidak mengingkari bahwa Allah-lah yang memberikan kesembuhan kepadanya. Maka orang tersebut telah terjatuh pada syirik kecil karena bersandar kepada sebab, bukan kepada yang menciptakan sebab, yaitu Allah Ta’ala.
Ketiga, yang tidak meniadakan tauhid sedikit pun. Yaitu seseorang mengambil suatu sebab yang diizinkan syari’at, dengan menyandarkan pengaruh sebab tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa sebab berasal dari Allah dan hanya dapat berpengaruh atas kehendak-Nya. Jenis yang ketiga inilah yang seharusnya diamalkan oleh setiap mukmin yang bertauhid kepada Allah Ta’ala. Karena sikap seperti inilah yang menunjukkan adanya tawakal pada diri seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (HR.  Tirmidzi, Hasan shahih).
Terakhir, marilah kita berdo’a kepada Allah untuk dijauhkan dari pengaruh jimat dan juga bentuk kemusyrikan yang lain. Serta memohon hidayah kepada Allah untuk dicukupkan hati ini dengan syari’at Allah Ta’ala sehingga tidak merasa butuh dengan sesuatupun di luar syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Barangsiapa yang (menjadikan) akhirat tujuan utamanya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“ (HR. Ibnu Majah, shahih)