Pages

** MENGGALI KESABARAN **

Kesabaran tidak selalu harus dimaknai sebagai sikap “pasif”, pasrah terhadap keadaan, menerima apa adanya, yang selanjutnya bahkan sering dipersepsi – secara tidak tepat — sebagai sikap “qana’ah”. Lebih bermakna dari itu semua, kesabaran sudah semestinya dipandang sebagai sikap proaktif untuk mengubah keadaan “menjadi  serba lebih baik”. Itulah yang saya pahami, sebagai pesan moral dari tulisan (Mas) Zaim Uchrowi yang berjudul: “Masyarakat Yang Sabar” dalam rubrik Resonansi, Republika, Jumat, 23 September 2005.
SABAR, kata para ahli bahasa, secara harfiah berarti “bertahan” atau “menahan diri”. Sebuah sifat mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, dalam status dan peran apa pun. Bentuk konkret sabar yang dilembagakan dalam (agama) Islam antara lain adalah kesadaran untuk ber-imsak (menahan diri), yang diformalkan ajarannya dalam kewajiban berpuasa. Ketika berpuasa, seorang Muslim harus “menahan diri” dari perbuatan-perbuatan yang tidak perlu, apalagi perbuatan yang dilarang, dan untuk selanjutnya — bersikap proaktif untuk beramal shalih, meskipun harus bergulat dengan realitas serba tidak ideal, di antaranya: kondisi “lapar dan dahaga”.
Sayang! Pemahaman sebagian orang terhadap ajaran untuk “menahan diri” ini seringkali terjebak pada pemaknaan eksoterik (lahiriah), menahan diri dari makan- minum, dan utamanya “jima’” (hubungan badan suami istri).
Padahal, ketika kita mau sedikit bergeser untuk memaknainya dalam dimensi esoterik (batiniah)-nya, maka kita akan menemukan makna terdalam dari terma imsak ini, menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri dan (juga) merugikan orang lain kurang begitu dipahami. Tidak hanya itu, di ketika kita lupa untuk memahami maksud Hadits-Hadits Nabi saw tentang makna puasa, maka makna esensial imsak pun seringkali terlupakan. Imsak setiap Muslim yang telah berpuasa, belum – secara jelas — memercik dalam kehidupan riil dalam bangunan kehidupan intrapersonal, interpersonal dan sosial. Tegasnya: belum menjadi keshalihan individual dan kolektif.
Dari realitas inilah kita bisa memahami intisari nasihat Nabi saw dalam salah satu sabda beliau: kam min sha‘imin laisa lahu min shiyamihi illa al-ju’u wa al-‘athasyu, betapa banyak orang yang sudah (merasa) berpuasa, namun tidak pernah sekalipun mendapatkan makna dan pahala puasanya kecuali rasa) lapar dan dahaga.
Kini saatnya kita maknai sabar dalam pengertian imsak. Sabar – dalam pengertian imsak – minimal bisa kita maknai dengan 3 (tiga) pengertian: (1) sabar di saat kita mengerjakan perintah Allah (kebajikan), (2) sabar di saat kita meninggalkan larangan Allah (kemunkaran), dan (3) sabar dalam menerima terhadap takdir; baik yang berupa musibah (sebagai peringatan, ujian maupun nikmat terselubung dari Allah).
Pertama, kita harus bersabar untuk membiasakan sesuatu yang baik dan benar. Meskipun  “yang baik dan benar” itu tidak selamanya dianggap wajar oleh semua orang. Bahkan – konon kabarnya – orang yang selalu membiasakan yang baik dan benar harus rela menjadi seseorang dan sekelompok orang yang terpinggirkan, hanya karena menyempal dari kebiasaaan mayoritas.
Dia bersama dengan kelompoknya harus bersedia menjadi ghurabâ’, sekelompok manusia yang – kata Nabi saw – selalu melakukan ishlah (perbaikan diri dan komunitasnya) untuk kepentingan  kemanusiaan-universal, di ketika mayoritas (manusia) sedang menikmati sistem dan  budaya korup.
Rasa haus dan lapar – sebagai media untuk memahami realitas sosial-kemanusian – dalam berpuasa bagi setiap muslim sudah seharusnya menjadi tindakan yang proaktif yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah, — di samping menjadikan dirinya semakin dekat kepada Allah, juga benar-benar berimplikasi pada lahirnya tindakan kepedulian-sosial untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial-kemanusiaan yang tidak pernah sepi (selalu) berada di hadapannya. Di sinilah doktrin amar ma’ruf menemukan implementasinya.
Kedua, kita harus bersabar untuk tidak melakukan kemunkaran. Tindakan proaktifnya adalah: melawan segala tindakan yang merugikan diri dan semua orang. Seorang Muslim yang memiliki sikap sabar, tidak akan pernah berputus asa untuk melaksanakan misi kerahmatan Islam, menuju visi yang sama: menggapai rahmat Allah (dalam pengertian yang lebih substantif).
Seperti pesan-moral Nabi saw: “tidak pernah ada kata putus asa bagi setiap Muslim  untuk menggapai rahmat Allah”. Setiap Muslim – sudah seharusnya – memiliki kesabaran untuk mengupayakan wujudnya rahmat Allah di tengah-tengah umat manusia, dengan selalu peduli untuk ber”nahi munkar”. Dengan kata lain, kita – setiap muslim — wajib bersabar untuk terus melawan segala bentuk kemunkaran, oleh siapa pun kepada siapa pun.
Ketiga, kita harus bersabar terhadap takdir Tuhan. Sabar di sini adalah ridla terhadap semua kejadian yang menimpa diri kita, yang berarti imsak dari sikap mengeluh, apalagi menyesali setiap perolehan dari Allah, dengan sikap dan tindakan yang serba-positif. Dengan demikian sabar adalah melakukan refleksi-kritis terhadap berbagai hal yang menimpa diri kita.
Karena betapa pun Allah – dengan segala kebijakan dan keberpihakan-Nya terhadap diri kita — tidak akan pernah sekali pun bersikap dzalim terhadap hamba-Nya. Bahkan kita perlu berkontemplasi dengan selalu bertanya: peringatan, ujian dan nikmat-terselubung apa yang tengah diberikan oleh Allah terhadap diri kita, di saat musibah silih-berganti menyapa diri kita? Inikah pelajaran terbaik dari Allah pada diri kita, setelah kita terlalu banyak lupa untuk mengingat-Nya?
Seseorang yang memiliki kesabaran tidak pernah akan mengeluh karena panjangnya waktu yang dilalui untuk meraih kesuksesan. Dia juga tidak pernah bosan untuk menghadapi tantangan.

Kini kita semakin sadar, begitu tinggi nilai kesabaran kita. Sampai-sampai Al-Qur’an menyebutnya lebih dari 80 (delapan puluh) kali dalam berbagai ragamnya. Ketika menghadapi musibah, kita diperintahkan menempuh laku ash-shabru ’inda al-mushibah (sabar ketika ditimpa musibah); ketika menghadapi godaan setan yang selalu membujuk kita untuk bermaksiat, kita diperintahkan menempuh laku ash-shabru ‘an al-ma’shiyah (sabar untuk tidak berbuat maksiat), dan kita pun diperintahkan untuk menempuh laku ash-shabru ‘alaa ath-tha’ah (sabar untuk berbuat baik). Semuanya ternyata bernilai positif, meskipun ketiga ragam kesabaran itu – tentu saja — bukan sesuatu yang mudah untuk kita jalani.
Konon kabarnya, seseorang yang tengah menghadapi rintangan yang berat, terkadang hati kecilnya membisikkan agar ia berhenti (berputus asa), meski yang diharapkannya belum tercapai. Dorongan hati kecil itu selanjutnya menjadi keinginan jiwa. Dan jika keinginan itu ditahan, ditekan, dan tidak diikuti, maka tindakan ini merupakan pengejawantahan dari hakikat sabar yang mendorongnya agar tetap melanjutkan usahanya walaupun harus menghadapi berbagai rintangan yang berat. Dia akan terus berproses untuk menjadi apa dan siapa pun yang dicita-citakannya dalam suka dan duka, dengan cara apa pun yang terus ia cari dalam bentuk kreativitas untuk selalu berbuat sesuatu, kapan dan di mana pun.
Betapa pun sulitnya kita menanamkan sikap sabar ke dalam diri kita, kesabaran – yang merupakan energi dan kekuatan diri kita — harus selalu melekat pada setiap pribadi Muslim. Dengan kesabaran yang tinggi, seseorang pasti akan selalu tabah dan ulet dalam mengarungi bahtera kehidupan yang sangat fluktuatif, kadangkala mendaki, menurun, terjal, datar, dan kadangkala pula sangat licin. Kadangkala di atas, kadangkala di bawah, kadangkala dalam posisi dan jabatan yang tinggi, dan kadangkala tidak memiliki jabatan sama sekali. Sabar pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang harus ditunjukkan dengan keluhahan, penyerahan diri, dan bukan pula sikap pasif untuk tidak beraktivitas apa pun. Sabar harus menjadi instrumen untuk membangun ketangguhan dalam melakukan sesuatu yang serba-positif, ketika berhadapan dengan rintangan dan tantangan.
Justru, bagi setiap orang yang bisa bersabar, rintangan dan tantangan dijadikannya sebagai suatu peluang dan kesempatan untuk semakin dinamis dalam mempersembahkan yang terbaik dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan kita, setiap Muslim harus selalu berpikir untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan dan melahirkan kreativitas dengan spirit kesabaran. Kesabaran untuk meraih sesuatu yang terbaik kadangkala membutuhkan waktu yang cukup panjang dan tidak cukup dengan satu kali cobaan, sehingga seseorang semakin terbukti dan teruji.
Seseorang yang memiliki kesabaran tidak pernah akan mengeluh karena panjangnya waktu yang dilalui untuk meraih kesuksesan. Dia juga tidak pernah bosan untuk menghadapi tantangan. Dan kita pun bisa berkesimpulan, bahwa kesabaran dalam tiga dimensinya harus selalu ada pada setiap Muslim.
Pertama, sabar dalam pengertian berkemauan dan berkemampuan menempuh laku imsâk ketika menghadapi godaan setan yang selalu membujuk untuk bermaksiat, dengan satu kesedian untuk mengatakan “tidak” terhadap setan, di ketika mereka membujuknya untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, sabar dalam pengertian berkemauan dan berkemampuan menempuh laku imsak untuk berbuat baik dan benar, dengan satu kesediaan untuk mengatakan “ya” terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, sabar dalam pengertian berkemauan dan berkemampuan menempuh laku imsak di ketika menghadapi musibah, dengan berkemauan dan berkemampuan untuk mengendalikan emosi, sehingga tidak sampai bersikap putus asa dalam menghadapi semua persoalan hidup,  betapa pun beratnya, dengan satu kesediaan untuk mengatakan “inna lilla wa inna ilaihi raji’un” (semuanya milik Allah, dan pasti hanya akan kembali kepada-Nya).
Setelah kita pahami esensi sikap sabar yang kita miliki, kita pun bisa bertanya kepada diri kita: Kenapa harus pesimis? Dengan sikap sabar (yang proporsional), masa depan akan selalu kita retas dengan sikap optimis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tulis Kritik dan Saran Anda